Wanita itu Indah

Pada zaman dahulu, kaum wanita mendominasi kehidupan, suatu kenyataan yang sangat berbeda dengan kondisi pada zaman sekarang yang lebih banyak didominasi oleh kaum pria. Pada Zaman Batu, wanita dianggap sebagai Dewi Agung, pusat segala kegiatan dan tampak sebagai pencipta daya kehidupan.
Ahli Antropologi, Evelyn Reed (1979) mengungkapkan bahwa kaum wanita menciptakan organisasi sosial pertama, yaitu klan matriarkat. Menurut Reed pula, wanita juga memegang dominasi utama dalam penciptaan peralatan-peralatan pada zaman dahulu, seperti linggis dan wadah, penemuan cara bertani, penggunaan api, tumbuhan untuk obat, hingga perkembangan penggunaan bahasa. Namun hal yang dianggap paling ajaib oleh kaum pria pada masa itu adalah kemampuan wanita memproduksi anak dari tubuh mereka sendiri. Maka wajar, apabila pada masa itu wanita dipandang sebagai perwujudan Dewi dari daya kreatif dunia pada Zaman Batu.
Wanita masih terus dihormati, terbukti dengan ditemukannya hasil pahatan dan patung yang lebih banyak berwujud wanita di wilayah Eropa: Spanyol hingga Rusia.  Figur “wanita suci” pada seni Zaman Batu melambangkan lebih dari “figur kesuburan” yang dipuja oleh banyak pria pada zaman pra sejarah. Namun beberapa ahli sejarah menganggap lebih jauh pandangan mereka terhadap wanita, bahwa bukan hanya sebagai figur kesuburan, tetapi juga kekuatan inti yang menggerakkan bumi dan alam semesta. Tiga aspek wanita pada zaman Batu adalah pencipta, pemelihara dan perusak kehidupan. Pada zaman itu terbentuk pemikiran-pemikiran untuk menjadikan sang Dewi sebagai pusat pemujaan dengan berbagai ritual seksualitas yang mereka adakan sendiri.
Namun, seiring dengan perubahan zaman, kebudayaan sang Dewi tidak dapat terus bertahan hingga akhirnya kaum pria menaklukkan wanita sekitar 3000 tahun SM. Pada era sejarah, mulai terbentuk masyarakat ‘cangkokan’ antara matriarkat dan patriarkat dengan kekuasaan yang condong kepada kaum pria. Kepercayaan Sang Dewi terus digantikan dengan Sang Dewa, dalam proses yang cukup panjang. Bahkan, tidak jarang perampasan kekuasaan dilakukan secara kasar, yang menimbulkan terciptanya awal mula kisah ‘ pelacuran’.
Pelacuran ini terus dijadikan budaya hingga berkembang suatu kisah yang menceritakan adanya seorang pria berbudaya hewan yang dapat merubah sikap dan kelakuannya lebih sopan dan berbudi akibat berhubungan dengan seorang wanita suci ‘pelacur’. Berkembang dengan kisah tersebut, mulai terbentuk cipta wanita sesungguhnya yang lebih menuju kepada istilah ‘kelembutan, kehalusan, keindahan dan kesopanan’.